NAJIS AIR KENCING BAYI (HUKUM - KAIDAH - CARA MENSUCIKAN)


NAJIS AIR KENCING BAYI (HUKUM - KAIDAH - CARA MENSUCIKAN)
====================================
# PENANYA : Ibu Santi 
Assalamu alaikum...
1. Mau tanya, air kencing anak usia 2 tahun apakah termasuk najis?
2. Jika lantai yg dipipisi belum sempat dipel hanya dilap saja hingga kering terus dgunakan untuk solat (dgn sajadah), apakh solatnya sah?
3. Jika lantai yg telah kering tadi terinjak, apakah wudhunya batal?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu alaikum….
➖➖➖➖➖➖➖
# JAWABAN:
Wa 'alaikumus salam wa rahmatullah...
Kesimpulan:
Air kencing anak laki-laki hukumnya najis jika sudah MP ASI, anak perempuan hukumnya najis walau belum MP ASI.
Sholatnya sah.
Tidak batal.
Bismillah
Bersuci dari Kencing Bayi - Menghilangkan Najis dari Kencing Bayi
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ pernah ditanya:
Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ menjawab:
Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkana air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan pendamping asi (MP ASI). Jika bayi laki-laki itu telah mengonsumsi makanan, maka pakaian yang terkana air kencing itu harus dicuci. Adapun jika bayi itu perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik dia sudah mengonsumsi makanan pendamping ataupun belum.
Ketetapan ini bersumber dari hadis yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadis ini dalam kitab sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan,
“Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengonsumsi makanan datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukan bayi itu di dalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah meminta diambilkan air kemudian memerciki pakaian itu dengan air tanpa mencucinya.”
Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabada.
“Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air.”
Dalam riwayat lain menurut Abu Daud,
“Pakaian yang terkana air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum mengkonsumsi makanan.”
Maroji’: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010
Bekas Najis yang Sudah Kering
Bagaimana bekas najis yang telah hilang/terangkat karena sinar matahari maupun angin, seperti kencing bayi yang sedikit di pakaian kita?
Kaidah pokok yang berlaku dalam masalah ini adalah
الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
“Hukum itu bergantung pada ada dan tidaknya ‘illah”
‘illah adalah segala sesuatu yang menyebabkan adanya hukum tertentu. Misalnya, wanita haid dilarang shalat. Adanya hukum ‘dilarang shalat’ karena adanya ‘illah berupa datang bulan. Ketika si wanita telah selesai haid, maka dia kembali wajib shalat, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Semacam juga berlaku untuk benda suci yang terkena najis. Baju atau kain suci yang terkena najis, statusnya menjadi najis, sehingga tidak boleh digunakan untuk shalat. Adanya hukum kain itu statusnya najis dan tidak boleh digunakan untuk shalat, karena adanya ‘illah berupa benda najis yang melekat di kain itu. Sehingga ketika benda najis itu telah hilang, maka kain itu kembali menjadi suci, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
إذا زالت عين النجاسة بأي مزيل كان، فإن المكان يطهر، لأن النجاسة عينٌ خبيثة، فإذا زالت زال ذلك الوصف وعاد الشيء إلى طهارته، لأن الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Apabila barang najis (yang menempel di benda suci) telah hilang dengan apapun caranya, maka benda itu kembali suci. Karena barang najis adalah barang kotor, sehingga ketika barang kotor ini sudah hilang maka sifat kotor pada benda (yang ketempelan najis) tersebut hilang, dan benda itu kembali suci. Karena setiap hukum bergantung kepada ada dan tidaknya ‘illah.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Menghilangkan Najis tidak Butuh Amal Tertentu
Perbuatan yang dilakukan manusia, secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi 2:
Melakukan perintah (fi’lul ma’mur) & Menjauhi larangan (ijtinabul mahdzur)
Hilangnya najis, termasuk jenis yang kedua, yaitu menjauhi larangan. Artinya, untuk menghilangkan najis, kita tidak diharuskan melakukan amal tertentu. Selama najis yang menempel di benda suci itu telah hilang, bagaimanapun caranya, maka status benda itu kembali suci. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Dulu anjing-anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak mengguyur kencing anjing tersebut.”
(HR. Bukhari 174, Abu Daud 382, dan lainnya).
Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat menganggap suci semua tanah masjid, padahal bisa jadi ada anjing yang kencing di sana. Namun, mengingat najis itu sudah hilang karena menguap, mereka menghukumi tanah itu tidak najis.
Dalam Aunul Ma’bud dinyatakan,
وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ إِذَا أَصَابَتْهَا نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ أَوِ الْهَوَاءِ فَذَهَبَ أَثَرُهَا تَطْهُرُ إِذْ عَدَمُ الرَّشِّ يَدُلُّ عَلَى جَفَافِ الْأَرْضِ وَطَهَارَتِهَا
Hadis ini menunjukkan dalil bahwa tanah yang terkena najis, kemudian kering karena terik matahari atau ditiup angin, sehingga bekas najisnya sudah hilang maka tanah itu menjadi suci. Karena, tidak diguyur air (pada hadis Ibnu Umar di atas), menunjukkan bahwa tanah itu telah kering, dan kembali suci.
Selanjutnya penulis mengatakan,
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّهُ قَالَ جُفُوفُ الْأَرْضِ طُهُورُهَا
Diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa keringnya tanah, merupakan cara mensucikannya
(Aunul Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2:31).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
وإزالة النجاسة ليست من باب المأمور به حتى يقال: لابد من فعله، بل هو من باب اجتناب المحظور
“Menghilangkan najis bukanlah termasuk suatu amalan yang diperintahkan, sehingga dikatakan, harus melakukan amal tertentu untuk menghilangkan najis. Namun, terkait najis, termasuk bentuk menjauhi larangan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Jadi kencing bayi yang menempel di pakaian anda dan sudah kering, kemudian dipastikan dengan yakin tidak ada lagi bekas air kencing yang menempel di baju tersebut, maka pakaian anda kembali suci.
Allahu a’lam
Wabillahit taufiq
# Dijawab oleh Team Tanya Jawab Bimbingan Islam