Nenek 95 Tahun Hidup Sebatang Kara, Menjerit Saat Kelaparan


Satreya (95) hidup sebatang kara. Jika lapar, ia sering berteriak lapar dan menangis.

Pada usianya yang sudah senja, Satreya (95), warga Dusun Batu Putih, Desa Larangan Dalam, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, hidup dengan banyak keterbatasan. 

Dinding-dinding rumahnya, yang terbuat dari anyaman bambu, bolong-bolong dari berbagai sisi. Atap genting sudah mulai berjatuhan di bagian depan dan belakang. Rumah berukuran 3 meter x 4 meter itu dihuni sendirian setelah suaminya, Dasuki, meninggal sekitar 30 tahun lalu.

Rumah tinggal Satreya tanpa sekat di dalamnya. Tak ada peralatan rumah tangga di dalamnya. Hanya ada tempat tidur yang terbuat dari bambu beralaskan tikar daun. Peralatan masak pun juga tidak ada. Hanya ada tungku dan sebuah wadah terbuat dari tanah yang digunakan untuk memasak air. 

Lampu penerangan juga tak ada. Memasuki emper rumah Satreya, bau pesing sudah tercium. Maklum, tak ada tempat mandi ataupun jamban untuk buang air besar. Lubang kecil berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman sekitar 50 sentimeter jadi tempat bagi Satreya untuk buang air besar.

"Biasanya, kalau dia buang air besar, dia merangkak keluar rumahnya kalau sedang tidak ada orang," ujar Bunaya, tetangga Satreya. 

Untuk buang air kecil pun, Satreya juga merangkak ke depan rumahnya. Setimba air yang disediakan Arsia, keponakan Satreya, di depan rumahnya, jadi air untuk membersihkannya. "Saya tidak setiap hari membantu Satreya karena rumah saya jauh," kata Arsia. 

Sebagai orang yang merawat keseharian Satreya, Arsia selalu mengirimkan nasi yang sudah dimasak di rumahnya. Sebab, Satreya sudah tidak bisa masak sendiri. Bahkan, penglihatannya sudah rabun dan tidak bisa mengenali siapa pun. 

Pendengaran Satreya juga demikian. Tak mampu menangkap pembicaraan orang lain, kecuali harus bersuara keras. "Setiap hari kebutuhannya saya perhatikan. Ya seadanya dan semampu saya karena ekonomi saya juga pas-pasan," kata Arsia. 

Arsia menceritakan, Satreya pada waktu mudanya menjadi dukun pijat bayi. Bersama suaminya, Dasuki, Satreya tidak dikaruniai anak. Seiring dengan usianya yang semakin tua, kemampuan Satreya memijat juga berkurang.

"Dulu ramai sekali warga memijatkan anaknya ke sini. Tapi, sekarang sudah tidak ada sama sekali," kata dia. 

Meskipun dalam keadaan serba terbatas, Arsia mengaku ikhlas merawat bibinya. Namun, dia merasa kesulitan ketika bibinya jatuh sakit. Berstatus janda, Arsia harus pontang-panting meminta bantuan tetangganya untuk membantu dan menemani Satreya di rumahnya. 

"Andaikan ada yang membantu meringankan beban hidupnya, setidaknya saya bisa konsentrasi merawatnya," kata Arsia yang sehari-harinya menjadi buruh tani. 

Satrawi, tetangga Satreya lainnya, mengaku, jika sedang lapar, Satreya sering berteriak sendirian, bahkan sampai menangis. Jika kondisinya demikian, Satrawi menyuruh istrinya untuk mengantarkan makanan ke rumah Satreya. "Mungkin kiriman nasinya telat atau lupa sehingga Satreya teriak-teriak kelaparan," ujar dia.

Sebagai tetangga, Satrawi sering mengintip Satreya dari celah-celah lubang dinding rumahnya sebelum bepergian jauh. Hal itu untuk memastikan kondisi Satreya. "Saya kawatir dia sakit atau meninggal dalam keadaan sendirian. Makanya, saya selalu mengintipnya," ujar dia.

Kondisi Satreya memang belum banyak mengundang perhatian orang lain. Pernah sekali ada orang yang mengantarkan bantuan sembako. Namun, sampai sekarang, bantuan itu belum ada lagi.(kompas)