Setiap ucapan atau amalan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Karenanya, seorang Muslim yang baik senantiasa giat belajar agar mengetahui dasar dari setiap amal yang dikerjakan atau ucapan yang meluncur dari lisannya.
Jika tidak, amalan tersebut bisa sia-sia sebab dilakukan tanpa niat yang benar, bahkan berpeluang mencelakakan karena melakukan amalan-amalan yang asalnya bukan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya.
Di tahap ini, selain meriwayatkan langsung dari guru-guru kita yang tidak semuanya paham ilmu hadits maupun tafsir, dimana mereka-biasanya-hanya meriwayatkan dari guru-gurunya yang mendapatkan ilmu pula dari gurunya, kita harus bersikap kritis.
Kritis bukan bermakna makar. Kritis juga bukan bermakna sok tahu. Kritis adalah sebentuk kehati-hatian, untuk memastikan bahwa ‘warisan’ amal dari guru-guru dan pendahulu-pendahulu kita itu benar, perlu diperbaiki, atau bahkan mengandung banyak kesalahan.
Tentunya, kita harus bersikap santun dalam mencari tahu. Tidak boleh sok benar, apalagi merasa bahwa semua orang yang berbeda dengan kita berada di jalur yang salah.
Jika memang mereka benar, kita harus mengikuti dan senantiasa istiqamah di dalamnya. Jika salah, ingatkan dengan santun agar tidak terjadi salah paham, senantiasa mengupayakan kebaikan, dan tetap bergaul dengan mereka secara baik.
Salah satu yang umum kita dapati atas amalan para pendahulu adalah dzikir dengan suara keras setelah shalat fardhu berjamaah. Ada yang setiap shalat sebanyak lima waktu dalam sehari. Ada juga yang hanya dikeraskan di tiga waktu; Subuh, Isya’, dan Maghrib.
Usut punya usut, ketika sebagian kaum Muslimin ada yang menganggapnya pasti bid’ah, rupanya ada riwayat yang membolehkannya. Bahkan, di dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim ini, dzikir dengan suara keras sudah didapati di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Menyaringkan suara ketika dzikir setelah selesai melakukan shalat (fardhu) sudah berlaku sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibnu ‘Abbas berkata: Saya mengetahui hal itu dilakukan oleh mereka. Saya sendiri mendengarnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari [842], Imam Muslim [Masajid/120-122], Imam Abu Dawud [1002] dan Imam an-Nasa’i [3/67] dengan derajat shahih dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Kami mendapati hadits ini dalam kitab al-Adzkar tulisan Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala.
Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]