Nenek Marto Jual Nuah-buahan di Titik 0 Malioboro
FOTO nenek yang pejuang hidup yang semangat menjalani hidup itu diposting di grup media sosial facebook oleh Stevanify Ocha Cha, anggota dari Netizen Report Tribun Jogja.
Pada postingan Stevanify Ocha disebutkan sang nenek pejuang hidup itu tiap harinya pergi pulang dari rumahnya di Godean, daerah di sebelah Barat Kota Yogyakarta.
"Sempat membeli buah-buahan yang dijual Marto di Titik 0 Malioboro. Ternyata beliau bertempat tinggal di Godean dan sehari-hari pulang-pergi dengan bus kota jalur 15."tulisnya Kamis (16/11/2015).
Betapa tak terketuk hati orang yang melihat nenek itu menjajakan buah rambutan, dia berjalan kaki tertatih-tahih tanpa alas kaki.
"Beliau berjalan sangat tertatih-tatih dan tanpa alas kaki,"tulis Ocha.
Postingan foto itu pun mendapatkan tanggapan yang positif dari netizen grup, sebagian besar dari mereka mendoakan semoga sang nenek diberi kesehatan.
Pemilik akun Koko misalnya, dia memberikan tanggapan kesehatan untuk sang nenek.
"Semoga selalu diberi kesehatan dan rejeki yang melimpah,"
Pemilik akun lain Andreas Tony Blade berpendapat melihat foto sang nenek.
"Beliau sudah di muliakan Tuhan...karena beliau tetap bersyukur...dan berusaha..Saya yakin di dalam hati beliau penuh doa...."tulisnya.
Nenek Marto memang satu dari sekian banyak orangtua yang punya semangat hidup tinggi meski tak lagi muda.
Kisah lain serupa, Kamis (5/3/2015), mendung tampak menyelimuti langit Yogyakarta. Di salah satu sudut kota, tepatnya di jalan Gamelan, Kecamatan Keraton, Yogyakarta, tampak seorang kakek penjual pot bunga setia menunggu calon pembeli.
Tribun Jogja/Hamim Thohari
Saat itu, kakek bernama Joyowasito tersebut membawa enam buah pot berukuran kecil dan sedang yang diletakan di atas alat pikul sederhana.
"Jika ditanya umur, saya tidak tahu pasti berapa umur saya. Tetapi jika 100 tahun sudah ada," ujar Joyowasito dengan bahasa Jawa.
Di tengah usianya yang telah mencapai satu abad tersebut, Joyowasito masih tampak semangat memperjuangkan hidupnya dengan mencari nafkah sendiri.
Meskipun saat ini dia hidup bersama anaknya yang menjadi pengrajin gerabah di Kasongan, dia tidak mau menggantungkan hidup kepada sang anak.
"Selama saya masih kuat cari uang sendiri, saya akan terus bekerja. Selain itu, berjualan juga menjadi hiburan bagi saya," kata kakek asal Kasongan, Bantul tersebut.
Pot yang dijual oleh Kakek tersebut didapatkan dari pengrajin yang berada di daerah tempat tinggalnya. Dia menjual pot tersebut dengan harga Rp20 ribu untuk ukuran sedang, dan Rp15 ribu untuk pot berukuran kecil.
Berjulan pot yang terbuat dari tanah liat, bukanlah hal baru bagi Joyowasito.
Sejak masa perang kemerdekaan dia telah berjualan pot. Bahkan pada masa itu dia menjual pot hingga ke Surabaya dan Jakarta. Diceritakannya, pada saat itu untuk sampai ke Jakarta ataupun Surabaya dia menggunakan kereta api.
"Saat itu uangnya masih uang receh. Pot yang saya jual harganya masih sekitar 15 sen," tandasnya. Karena tenaga yang sudah tidak memungkinkan, jika berangkat berjualan saat ini dia menumpang becak. (tribunjogja.com)