Kisah Eko, Bocah SD yang Jual Makaroni demi Adik dan Ibunya yang Sakit Ginjal



Makaroni goreng mungkin dianggap sebagai makanan ringan biasa bagi orang pada umumnya. Namun tidak bagi seorang anak berusia 9 tahun bernama Eko Adi Prasetyo. Bocah kelas 2 sekolah dasar itu menganggap makaroni sebagai penyangga hidup keluarga dan doa untuk ibunya yang menderita batu ginjal.

Berbekal sepeda pemberian salah seorang pelanggan dan kardus yang diikat di bagian depan stang, Eko berjualan keliling dari satu kampung ke kampung di Pedurungan Tengah, Semarang, Jawa Tengah. Semua itu demi ibunya yang sakit dan adiknya yang masih kecil.

"Ya buat makan, buat bantu ibu, ingin buat berobat ibu," kata Eko saat ditemui detikcom di kos-kosan di Pedurungan Tengah, Semarang, beberapa waktu lalu. Saat ini, Eko dan keluarganya pindah kos ke kawasan Tlogomulyo, Pedurungan.

Saat detikcom berkunjung, Eko memberikan sambutan ramah. Di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter, kami berbincang. Ruangan sederhana itu menjadi saksi perjuangan Eko, ibunya yaitu Dewi (30) dan adiknya, Erma (2) untuk bertahan hidup dalam keterbatasan. Ayah Eko yaitu Siswanto sudah meninggal saat Eko berusia 1,5 tahun, sedangkan ayah kandung dari Erma pergi sejak Erma masih dalam kandungan.
Sejak sekitar tiga bulan lalu, Eko mulai berjualan makaroni goreng karena mengetahui kondisi ibunya yang sudah tidak bisa banyak bergerak karena batu ginjal sejak 6 bulan terakhir. 

Setiap pagi, ibunya menggoreng makaroni di dapur umum di kosnya, kemudian siang harinya makaroni tersebut dibungkus plastik. Saat Eko sudah pulang sekolah, ia juga membantu membungkus hingga kira-kira ada 50 bungkus. Sekira pukul 16.00, Eko mulai mengayuh sepeda kecilnya untuk berkeliling kampung.

"Jumlahnya enggak mesti 50, kadang kurang. Ini satunya harganya Rp 1.000," ujar bocah pemalu itu.

Eko berkeliling menyusuri jalan kampung dan kadang sampai sekitar 3-4 kilometer menawarkan makaroninya. Menjelang  Maghrib, ia pulang, namun tidak jarang juga dia harus pulang lebih larut karena jarak yang lumayan jauh.
"Paling jauh itu sampai jembatan Bangetayu. Kadang habis makaroninya, kadang enggak," tandasnya.

Siswa kelas 2 SD Pedurungan Tengah 02 itu tidak lantas meninggalkan pendidikannya. Meski masih anak-anak, pikirannya sudah cukup dewasa untuk membantu ibunya dan tetap bertanggung jawab pada pendidikan yang dijalaninya.

"Kalau belajar malam harinya, terus kalo ada  tes ya saya enggak jualan dulu," ujar Eko.

Kisah perjuangan Eko itu jadi perbincangan netizen. Eko dan keluarganya tidak tahu menahu soal itu. 
(alg/try)