Nyai Roro Kidul karya Gunawan Kartapranata, 2003.
Foto: commons.wikimedia.org.
Selama berabad-abad, para sultan Keraton Yogyakarta menjalin pernikahan mistis dengan Nyai Roro Kidul. Bila kelak sultan perempuan, bagaimana kelangsungan hubungan itu?
KERATON Yogyakarta geger. Kabarnya, Sultan Yogyakarta yang akan datang takkan lagi diemban seorang sultan pria. Selasa (5/5/2015) yang lalu, Sultan Hamengkubuwono X bersabda tentang penetapan nama baru bagi putri pertama Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Masalah pun timbul. Sebab, jika benar penerus Sultan Hamengkubuwono X adalah perempuan, bagaimana dengan ritual penobatan yang konon harus pula menjadi suami Ratu Pantai Selatan atau lebih dikenal dengan Nyai Roro Kidul? Siapa sebenarnya Nyai Roro Kidul?
Ada beberapa versi. Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Ratu Kidul ini mulanya adalah putri dari Kerajaan Galuh, sekira abad 13. Ada pula versi yang menyebut dia adalah keturunan penguasa Pajajaran. Kemudian ada yang mengatakan dia keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan masih ada yang mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya.
Dikisahkan, Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semualelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa.
Ratu Pantai Selatan ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati, yang memerintah Mataram Islam 1585-1601, pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon ketekunannya membuat Laut Selatan bergolak. Istana ratu Pantai Selatan yang berada didasarnya porak poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati.
Ratu Kidul pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang pemuda gagah tengah bersemedi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana bawah Laut Selatan, ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan.
Senapati pun bergegas menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan. Panembahan Senapati menang gemilang.
Cucu panembahan senapati, Sultan Agung yang memerintah 1613-1646, membuat tarianbedhaya yang mengisahkan balada cinta kakeknya dengan Ratu Kidul. Saat terjadi palihan nagari 1755, tulis Nancy K. Florida dalam “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang dan keraton Surakarta bedhaya ketawang. Tarian ini menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru.
Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka. Dalam pidato tertulisnya yang berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan? Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.
“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.
Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni yang juga berwarna hijau.
Hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyai Roro Kidul, dalam tulisan Nancy K. Florida, pernah renggang pada saat meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IX, akhir tahun 1988. Namun, saat penobatan Sultan Hamengkubuwono X, dengan melihat histeria massa dalam penobatannya, konon dukungan dan hubungan dengan Nyai Roro Kidul baik-baik saja.
Kini mengemuka wacana bahwa Sultan Hamengkubuwono X akan digantikan oleh anak perempuannya. Dan kedudukan sultan yang selama berabad-abad diemban oleh lelaki (putra mahkota) kemungkinan besar akan beralih kepada seorang ratu (putri mahkota). Dengan demikian, hubungannya dengan Nyi Roro Kidul pun sepertinya harus didefinisi ulang.