Laki-laki ini merupakan seorang Pendeta. Anak pertamanya pemain musik di gereja. Anak keduanya menjadi vokalis gereja. Istrinya seorang Penginjil. Merupakan seorang penganut Kristen yang fanatik. Karena itu, ketika KH Muhammad Arifin Ilham berniat mendakwahi laki-laki bernama Freud ini, ada sahabat beliau yang berkata, “Mustahil, Ustadz. Mereka pemeluk Kristen fanatik.”
Namun, Kiyai Arifin tidak putus asa. Ujar beliau optimis, “Jika Allah Ta’ala Berkehendak, tiada yang mustahil.”
Sebab bertetangga, mereka pun sering bertemu. Bahkan, suara ketika mereka berlatih menyanyikan lagu-lagu gereja terdengar hingga kediaman Kiyai Arifin di Depok Jawa Barat. Nah, setiap bertemu, Kiyai Arifin juga selalu menyapa terlebih dahulu.
“Suatu pagi, Arifin pulang dakwah. Dibawain buah oleh panitia. Nah, pas bertemu dengan Pak Freud, Arifin bilang ke sopir, supaya berhenti terlebih dahulu. Ketika kami berhenti, Pak Freud ketakutan. Karena ada lima mobil yang mengikuti Arifin di belakang. Arifin keluar, lalu memberikan buah kepada Pak Freud.”
“Setelah itu,” tutur dai yang anak pertama dan keduanya sudah hafal 30 juz al-Qur’an ini, “kami pun menjadi akrab.”
Waktu berjalan. Interaksi semakin intens. Hingga suatu hari di Hari Paskah. “Waktu itu hari Jum’at,” kisah Kiyai Arifin, “Arifin hendak berangkat khutbah. Hujan deras. Lalu, Arifin pun mampir ke rumah beliau. Arifin jemput, lalu Arifin antarkan ke gereja. Karena beliau mau ngisi acara di Hari Paskah.”
Di tengah perjalanan, Kiyai Arifin memegang tangan Pak Freud. “Arifin pegang tangannya. Sudah keriput. Usianya 74 tahun. Karena kasihan (cinta), Arifin pun menangis. Dalam tangis itu, di hari Jum’at, saat hujan, Arifin mendoakan agar beliau masuk Islam.”
Rupanya, Pak Freud yang sudah senja melihat tangis Kiyai Arifin. “Ustadz, kenapa menangis?” tanyanya. “Tidak apa-apa, Pak.” jawab dai yang kini menetap di Sentul Jawa Barat ini.
Sehari setelah kejadian itu, Pak Freud datang ke rumah Kiyai Arifin. Beliau menggunakan setelan batik dan penutup kepala warna hitam. Katanya setelah bertemu Kiyai Arifin, “Ustadz, bolehkah saya mengikuti dzikir besok pagi?”
Kiyai Arifin pun sangat bahagia. Dengan dua tangan dan hati terbuka, Pak Freud diizinkan bergabung. “Waktu dzikir di Masjid al-Amru bi at-Taqwa, Pak Fred duduk di pojok belakang sebelah kanan masjid.”
Di tengah-tengah dzikir itu, Kiyai Arifin pun meminta jamaah untuk berdoa masing-masing, sesuai hajatnya. Padahal, maksud beliau, “Itulah sejarahnya dzikir, lalu diminta doa masing-masing. Waktu itu, Arifin ingin mendoakan Pak Freud. Kan bisa menyinggung kalau Arifin doa keras-keras agar beliau masuk Islam.”
Qadarullah, sehari setelah dzikir, “Tepat pada hari Senin, Pak Freud kembali ke rumah. Beliau menyatakan diri siap masuk ke dalam Islam.”
Allahu Akbar walillahil hamd.