Kerudung Halal, Kerudung Haram, dan Label MUI



SAYA terhenyak sesaat setelah mata saya terperogok pada satu kiriman seorang kawan yang dipampangkannya di halaman Facebook. Memuat gambar yang saya duga merupakan iklan dari produk satu perusahaan busana muslim.

Tentu, keterhenyakan saya bukan lantaran pada gambar itu terdapat wajah Laudya Cynthia Bella, artis peran, model, dan penyanyi, yang pertama kali saya kenal lewat film berjudul Virgin. Waktu itu dia masih imut-imut dan suka mengenakan rok berukuran sejengkal di atas lutut.

Bella, sapaannya, kini berhijab. Tentu sangat bagus sekali. Dan saya pribadi berharap beliau teguh dengan pendiriannya dan tidak mengikuti jejak rekan-rekannya sesama artis, yang setelah berhijab ternyata kembali lagi ke penampilan semula, dengan kelakuan (tidak semuanya) yang lebih parah dari sebelumnya.

Sekali lagi, ini bukan tentang Bella. Melainkan perihal produk yang ia kenakan. Produk dari perusahaan yang mendapuknya sebagai bintang iklan, ambasador, atau apalah namanya. Produk yang bagi saya (entah bagi orang lain) sungguh-sungguh aduhai: Kerudung Bersertifikat Halal.

Belum cukup menyentak, disematkan pula semacam tagline. Katakanlah penegasan. Bahwa produk ini merupakan Kerudung Berserfifikat Halal pertama di Indonesia.

Saya dalam hati mengoreksi. Bukan di Indonesia, melainkan di dunia.

Tapi terlepas apakah kerudung bersertifikat halal ini merupakan yang pertama di dunia atau sekadar di Indonesia, sejurus itu pula saya langsung teringat pada ibu saya.

Ah, ibu saya yang sudah tua, yang telah pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, yang selama entah berapa jam sehari duduk bersimpuh berzikir dan membaca Al Quran, bakal terancam keselamatannya di akhirat kelak, yang potensial pula membuatnya gagal masuk sorga, lantaran selama separuh dari usianya mengenakan kerudung yang tidak halal.

Ibu saya tidak pernah mengenakan kerudung-kerudung bermerek. Termasuk kerudung produk dari perusahaan yang telah mengantongi sertifikat halal ini. Ia lebih suka mengenakan kerudung-kerudung yang dijual di kedai-kedai di pasar tradisional, yang jika pun bermerek sesungguhnya cuma bikin-bikinan penjahitnya, yang tentu saja tidak mengantongi labelhalal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Terus terang, sempat terbetik niat saya untuk menelepon beliau. Ingin bertanya apakah beliau sudah mengetahui kabar terbaru dari dunia yang semakin ajaib ini, bahwa seperti halnya bakpao dan kwetiau, ternyata ada kerudung yang halal dan ada yang tidak halal. Ingin bertanya apakah beliau sudah tahu bahwa (berdasarkan keterangan di dalam iklan itu) kerudung menjadi haram karena pada kain terdapat emulsifier yang mengandung gelatin babi.

Namun niat ini saya urungkan setelah saya teringat pada ucapan seorang kawan. Ia sastrawan, lulusan pesantren, dan sekarang bekerja sebagai pegawai negeri. Tiap kali ada acara, ia sering didapuk sebagai pembaca doa.

Suatu hari, ia datang ke Taman Budaya Sumatera Utara dan membikin heboh karena mengenakan kaus bergambar kepala babi.

Saat hal ini ditanya, dia bilang: "Tuhan menciptakan babi dan seniman menggambarnya dan pembuat kaus ini meletakkannya di sini, apa masalah? Babi haram di muncungku (maksudnya 'mulutku'), bukan di pakaian."

Ibu saya, mungkin tidak akan bicara seperti ini. Tapi saya tahu dia akan menolak penghalalan dan pengharaman kerudung, sebagaimana beberapa tahun lalu dia juga tertawa saat ada kawannya sesama anggota pengajian, yang melarang anak-anaknya mengenakan celana jeans bikinan Amerika karena tidak mau menjadi bagian dari kafir kapitalis.

Ibu saya bilang, anak-anaknya juga tidak pakai jeans bikinan Amerika. Tapi bukan lantaran tidak mau jadi bagian kafir kapitalis, melainkan semata-mata karena harganya memang mahal dan tidak terjangkau oleh kantong ayah kami yang pegawai negeri.

Adanya label halal MUI yang ditampilkan di dalam iklan tersebut, pada awalnya juga sempat memunculkan keragu-raguan. Tapi,ah..., untungnya saya cepat menyadari kekonyolan ini.

twitter: @aguskhaidir