Di akhir zaman ini, kita bertemu dengan berbagai keanehan yang terjadi. Jika pelakunya orang kafir, munafiq, dan musyrik, sejatinya hal itu tidak terlalu bermasalah. Sayangnya, keanehan ini justru dilakukan oleh segelintir oknum dari kalangan kaum Muslimin.
Oknum-oknum ini terseber di berbagai penjuru bumi. Di dalam dan di luar negeri. Di dalam negeri, oknum ini semakin banyak jumlahnya. Mereka menyebar dengan sangat cepat ke berbagai pelosok desa bahkan ke tempat-tempat terpencil.
Dengan semangat yang membara, mereka bergegas mengamalkan apa yang mereka dapatkan dari seniornya. Sayangnya, mereka memiliki kecenderungan buruk berupa menghakimi kelompok lain yang memang tak serupa dengannya.
Terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan itu, mereka menyebutnya sebagai golongan sesat, pelaku bid’ah, musyrik, pemuja guru, dan lain sebagainya. Tuduhan-tuduhan itu dialamatkan secara serampangan, seakan-akan merekalah yang paling benar. Sepertinya, hanya mereka yang paling layak masuk surga, lalu pintunya ditutup sehingga tak ada orang lain yang bersama mereka di dalam rumah kenikmatan itu.
Padahal, jika dirunut, mereka ini kebanyakan berasal dari kalangan muda. Bukan hanya soal usia yang berimbas kepada pengalaman hidup, mereka juga masih dangkal dalam soalan ilmu. Kedangkalan inilah yang menjadi sebab hingga ia merasa menjadi orang yang paling benar; paling kuat dan lurus akidahnya, paling shalih, paling utama akhlaknya, paling sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mereka ini, mungkin saja, tak pernah membaca riwayat dari Imam Malik bin Anas Rahimahullah yang menyebutkan tentang seseorang yang tak pernah bosan mendatangi gurunya untuk belajar selama tiga puluh tahun.
Mereka, bisa jadi, juga tak membaca pengakuan salah satu murid sosok penulis al-Muwatha’ ini. Ialah Imam Abdullah bin Nafi’ yang berkata, “Aku senantiasa mengikuti majlis Imam Malik bin Anas selama empat puluh atau lima puluh tahun.”
Lantas, mereka ini belajar kepada siapa? Sudah berapa bulan hingga merasa layak untuk merasa benar dan menyalahkan pihak lain? Tidakkah mereka malu, betapa para pendahulu umat ini memiliki akhlak agung yang sukar ditandingi, pun pesona perangai kepada orang-orang yang berselisih dengannya.